Ngamumule Kasundaan Kalawan Ma'rifat Kasunyatan: Nilik Kana Rasa, Nyaah ka Rasa



MKSBogor.web.id - Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang begitu deras, kebudayaan lokal kerap terpinggirkan. Namun, di tanah Sunda, ada satu nilai luhur yang tetap hidup, meski pelan: Ma'rifat Kasunyatan. Konsep ini bisa menjadi kunci dalam ngamumule kasundaan — melestarikan budaya Sunda — dengan cara yang bukan sekadar fisik atau simbolik, tetapi menyentuh rasa, dan mengakar pada jiwa.


Makna Ma'rifat Kasunyatan dalam Konteks Kasundaan


Ma'rifat adalah pengenalan batiniah yang mendalam — sebuah perjalanan ruhani untuk mengenal Tuhan dan hakikat hidup.

Kasunyatan berasal dari kata sunyata (Jawa/Sunda), artinya hakikat sejati, kenyataan terdalam yang tidak selalu tampak oleh mata, namun bisa dirasakan oleh rasa.


Dalam konteks Sunda, Ma'rifat Kasunyatan bukanlah sesuatu yang asing. Leluhur Sunda tidak hanya hidup dalam logika, tetapi juga dalam rasa: rasa ka salira (ke diri sendiri), rasa ka sasama, rasa ka alam, jeung rasa ka Gusti.


Ngamumule Kasundaan: Bukan Sekadar Simbol, tapi Rasa


Ngamumule berarti memelihara, merawat, dan melestarikan. Tetapi dalam ajaran Sunda, pelestarian bukan hanya dalam bentuk pakaian adat, bahasa, tarian, atau makanan tradisional. Lebih penting dari itu adalah ngamumule rasa, yaitu menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan:


  • Silih asih (saling mencintai),
  • Silih asah (saling mengasah/mendidik),
  • Silih asuh (saling menjaga/membimbing).


Inilah nilai-nilai yang lahir dari ma'rifat terhadap kasunyatan kehidupan: bahwa manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk rasa.


Nilik Kana Rasa, Nyaah ka Rasa


Kalimat ini memiliki makna dalam:


  • Nilik kana rasa: memperhatikan rasa, bukan hanya apa yang tampak di luar.
  • Nyaah ka rasa: mencintai dan merawat rasa itu sendiri — baik rasa diri, rasa batur, maupun rasa hidup.


Dalam konteks budaya, ini berarti:


  • Saat kita berbahasa Sunda dengan lemah lembut, itu bukan hanya kebiasaan, tetapi cerminan rasa hormat.
  • Saat kita menolak kekerasan dan lebih memilih musyawarah, itu karena rasa kasih sudah tertanam dalam jati diri urang Sunda.
  • Saat kita tidak merusak alam, itu bentuk nyaah ka rasa alam — bagian dari kasunyatan hidup.


Ma'rifat Kasunyatan sebagai Pondasi Etika Sunda


Etika Sunda yang disebut sebagai "santun", "someah", dan "taya pamrih" bukanlah basa-basi sosial. Ia adalah hasil dari pemahaman mendalam, sebuah ma'rifat yang menyadari bahwa:


"Urang hirup lain ukur keur hirup sorangan, tapi keur ngajaga rasa anu dipasrahkeun Gusti."


Dari sinilah kemudian lahir filosofi hidup seperti:


  • “Tong nyeri heula, ari batur can cageur” – Jangan bahagia dulu jika orang lain masih menderita.
  • “Ulah ngaliwatan kana rasa” – Jangan melukai perasaan orang lain.


Semua ini bertumpu pada kesadaran akan rasa, dan di situlah letak ma'rifat dalam budaya Sunda: memanusiakan manusia melalui rasa.


Kasundaan Harus Dihirup, Bukan Hanya Diucap


Ngamumule kasundaan kalawan ma'rifat kasunyatan adalah ikhtiar untuk menghidupkan kembali roh kebudayaan, bukan hanya raganya. Ini adalah perjalanan untuk kembali pada rasa, bukan sekadar rupa.


Jika orang Sunda ingin budayanya tetap hidup, maka ia harus kembali nilik kana rasa, nyaah ka rasa — agar budaya Sunda tidak hanya tersimpan dalam buku sejarah, tetapi terus berdetak dalam hati generasi masa depan.

1 Komentar

  1. Intina Al-Quran aya dina kalimat Bismillahirrahmanirrahiim, anu numutkeun pamendak abdi mah nya ka-silihwangi-an. Baktos Ki Guru Agus Pranamulia, panalungtik ti Univ Nusa Bangsa sareng Pranamulia Institute.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama